Sejarah Prodi Pendidikan IPA UPS Tegal
Program studi pendidikan IPA lahir di era banyak regulasi perguruan tinggi muncul seperti halnya UU No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi , Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia ( KKNI) , Peraturan menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 73 tahun 2013 tentang penerapan kerangka kualifikasi nasional bidang pendidikan dan Peraturan menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 49 tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Semua regulasi tersebut memberikan konsekuensi perubahan dalam anatomi dan paradigma penyusunan kurikulum di lingkungan Perguruan Tinggi.
Visi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Pancasakti Tegal sesuai Rencana Operasional (RENOP) FKIP 2013 dan merupakan penjabaran visi Universitas di tingkat fakultas adalah mewujudkan Fakultas yang unggul dalam menghasilkan tenaga kependidikan yang profesional, berwawasan kewirausahaan dan berkepribadian Pancasila.Program studi Pendidikan IPA sebagai program studi baru dalam mengembangkan visi tentu harus selaras dengan visi fakultas maupun universitas. Disamping itu ada beberapa pertimbangan penting dari fakultas dalam menentukan visi prodi terutama berkaitan dengan isu isu terkini berkaitan dengan pendidikan sains baik pada tataran nasional maupun internasional.
Penyusunan kurikulum program studi pendidikan IPA berbasis KKNI dimulai dengan menentukan profil lulusan sebagai outcome program studi dan selanjutnya menentukan kompetensi yang harus dimiliki oleh lulusan program studi yang selanjutnya dijabarkan dalam bahan kajian dan mata kuliah. Kompetensi lulusan atau capaian pembelajaran harus mengacu pada rumusan kemampuan (disebut deskripsi pada KKNI) yang sesuai dengan jenjang atau levelnya. Demikian pula rumusan capaian pembelajaran ini harus dinyatakan dengan jelas agar dapat memberikan informasi kepada masyarakat khususnya pemanku kepentingan tentang kemampuan apa yang dimiliki oleh lulusan suatu program studi.
Kompetensi lulusan minimal harus mengandung 4 unsur deskripsi KKNI , yakni : (1) deskripsi umum, sebagai ciri lulusan pendidikan di Indonesia, (2) rumusan kemampuan di bidang kerja, (3) rumusan lingkup keilmuan yang harus dikuasai dan (4) rumusan hak dan kewenangan manajerialnya. Deskripsi tersebut perlu dijabarkan dalam kompetensi sikap, kompetensi pengetahuan , kompetensi keterampilan ( umum dan khusus). Rumusan sikap dan keterampilan umum sebagai bagian dari capaian pembelajaran lulusan untuk setiap level ditentukan melalui Standar Nasional Pendidikan Tinggi sedangkan rumusan pengetahuan dan ketrampilan khusus disusun oleh forum program studi sejenis atau pengelola program studi.
Rumusan deskripsi KKNI untuk deskripsi umum (1), kemampuan kerja (2) dan unsur hak dan kewenangan manajerial (4) , dapat disetarakan dengan kemampuan utama yang tercantum dalam kepmendiknas no 232/U/2000 dan Kepmendiknas No 45/U/2002, tentang Kurikulum Pendidikan Tinggi, yang diartikan sebagai kompetensi yang merupakan penciri program studi. Sementara unsur ke 3 dari deskripsi KKNI yang berisi rumusan pengetahuan/keilmuan yang harus dikuasai disetarakan dengan istilah bahan kajian dalam konsep pendidikan tinggi. Berdasarkan kedua aturan tersebut kompetensi lulusan terdiri dari kompetensi utama yang merupakan penciri program studi , kompetensi pendukung dan kompetensi lain yaitu kompetensi yang ditambahkan oleh program studi masing masing sebagai ciri lulusanya.
Sesuai UU Guru dan dosen, maka kewenangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang memberikan akta mengajar IV melekat pada sarjana pendidikan tidak dapat lagi dilakukan. Guru adalah profesi yang dihasilkan melalui pendidikan profesi dan pendidikan profesi ( level 7) adalah pendidikan setelah pendidikan level sarjana( level 6). Oleh karenanya paradigma pendidikan di LPTK harus berubah setidaknya dalam dua aspek yaitu profil lulusan dan kompetensi yang dikembangkan. Lulusan LPTK tidak otomatis menjadi guru sehingga LPTK harus mempersiapkan para lulusannya untuk bekerja di luar profesi guru. Hal ini juga disebabkan karena kebutuhan guru di pasar kerja juga tidak selalu tinggi sementara untuk profesi lain masih sangat mungkin diisi oleh sarjana pendidikan sesuai dengan bidang ilmu yang sesuai.
Pendidikan IPA/ sains memiliki peran yang penting dalam menyiapkan anak memasuki dunia kehidupannya. Sains pada hakekatnya merupakan sebuah produk dan proses. Produk sains meliputi fakta, konsep, prinsip, teori dan hukum. Sedangkan proses sains meliputi cara-cara memperoleh, mengembangkan dan menerapkan pengetahuan yang mencakup cara kerja, cara berfikir, cara memecahkan masalah dan cara bersikap. Oleh karena itu sains dirumuskan secara sistematis, terutama didasarkan atas pengamatan eksperimen dan induksi. Pendidikan sains memiliki potensi yang besar dan peranan strategis dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk menghadapi era industrialisasi dan globalisasi. Potensi ini akan dapat terwujud jika pendidikan sains mampu melahirkan siswa yang cakap dalam bidangnya dan berhasil menumbuhkan kemampuan berpikir logis, berpikir kreatif, kemampuan memecahkan masalah, bersifat kritis, menguasai teknologi serta adaptif terhadap perubahan dan perkembangan zaman.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, pendidikan sains ditantang untuk menyiapkan SDM yang berkualitas, yang tidak hanya cakap dalam bidang sains tetapi juga memiliki kemampuan memutuskan dan mengambil sikap yang logis, kritis dan kreatif serta memiliki literasi sains sehingga mampu memahami fenomena sains dan menyikapi isu atau memecahkan berbagai persoalan kehidupan sehari-hari Sebagaimana dalam The National Research Council Amerika Serikat (1996 dalam Shwartz et.al., 2006) dinyatakan bahwa pencapaian literasi sains oleh siswa adalah salah satu tujuan utama pendidikan sains.
Berdasarkan hasil Programme for International Student Assessment(PISA) tahun 2000, 2003 dan 2006 skor literasi sains siswa Indonesia usia 15 tahun berturut-turut adalah 393, 395 dan 395 dengan skor rata-rata semua negara peserta 500 dan simpangan baku 100 (Ekohariadi, 2009). Pada PISA 2009 skor siswa Indonesia adalah 383 dengan rerata skor negara peserta adalah 501 (OECD, 2010) dan PISA 2012 dengan skor 382, berada di peringkat 64 dari 65 negara peserta (okezone.com). Hasil capaian tersebut mengindikasikan bahwa rata-rata kemampuan sains siswa Indonesia baru sampai pada kemampuan mengingat dan mengenali pengetahuan ilmiah berdasarkan fakta sederhana tetapi belum mampu untuk mengkomunikasikan dan mengaitkan berbagai topik sains, apalagi menerapkan konsep-konsep yang kompleks dan abstrak . Penilaian PISA berorientasi ke masa depan, yaitu menguji kemampuan untuk menggunakan keterampilan dan pengetahuan mereka dalam menghadapi kehidupan nyata, tidak semata-mata mengukur kemampuan sebagaimana dalam kurikulum sekolah, sehingga dapat membantu meningkatkan pendidikan dan menyiapkan generasi muda yang lebih baik ketika mereka memasuki kehidupan dewasa yakni menjadi orang yang literate.
Literasi sains penting dimiliki setiap orang sebagai masyarakat, warga negara dan warga dunia. Setiap orang harus memiliki tingkat literasi sains tertentu agar dapat bertahan hidup di alam maupun di tempatnya bekerja. Literasi sains berkaitan dengan pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan nilai-nilai yang terdapat di dalam sains. Zuriyani (2013) mengatakan setidaknya ada dua alasan mengapa literasi sains penting untuk dimiliki siswa, yaitu: (1) pemahaman sains menawarkan pemenuhan kebutuhan personal dan kegembiraan, dapat dibagikan dengan siapa pun; dan (2) negara-negara di dunia dihadapkan pada pertanyaan‑pertanyaan dalam kehidupannya yang memerlukan informasi ilmiah dan cara berpikir ilmiah untuk mengambil keputusan dan kepentingan orang banyak yang perlu di informasikan seperti, udara, air dan hutan. Pemahaman sains dan kemampuan dalam sains juga akan meningkatkan kapasitas siswa untuk memegang pekerjaan penting dan produktif di masa depan. Karena kepemilikan literasi sains sangat penting, maka menjadi penting pula membangun literasi sains siswa sejak dini, selaku generasi penerus di masa depan. Salah satu upaya untuk itu dapat dilakukan dengan menciptakan pembelajaran sains yang mendukung terciptanya SDM yang melek sains.
C.E.de Boer mengemukakan bahwa orang pertama yang menggunakan istilah “Scientific Literacy” adalah Paul de Hart Hurt dari Stamford University yang menyatakan bahwa Scientific Literacy bearti memahami sains dan aplikasinya bagi kebutuhan masyarakat. Literasi sains menurut National Science Education Standards adalah “scientific literacy is knowledge and understanding of scientific concepts and processes required for personal decision making, participation in civic and cultural affairs, and economic produvtivity. Literasi sains yaitu suatu ilmu pengetahuan dan pemahaman mengenai konsep dan proses sains yang akan memungkinkan seseorang untuk membuat suatu keputusan dengan pengetahuan yang dimilikinya, serta turut terlibat dalam hal kenegaraan, budaya dan pertumbuhan ekonomi. Literasi sains dapat diartikan sebagai pemahaman atas sains dan aplikasinya bagi kebutuhan masyarakat (Widyaningtyas dalam Yusuf, 2008).
Literasi sains menurut PISA diartikan sebagai “ the capacity to use scientific knowledge , to identify questions and to draw evidence-based conclusions in order to understand and help make decisions about the natural world and the changes made to it through human activity”. Literasi sains didefinisikan sebagai kemampuan menggunakan pengetahuan sains, mengidentifikasi pertanyaan, dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti, dalam rangka memahami serta membuat keputusan berkenaan dengan alam dan perubahan yang dilakukan terhadap alam melalui aktivitas manusia. Definisi literasi sains ini memandang literasi sains bersifat multidimensional, bukan hanya pemahaman terhadap pengetahuan sains, melainkan lebih dari itu. PISA juga menilai pemahaman peserta didik terhadap karakteristik sains sebagai penyelidikan ilmiah, kesadaran akan betapa sains dan teknologi membentuk lingkungan material, intelektual dan budaya, serta keinginan untuk terlibat dalam isu-isu terkait sains, sebagai manusia yang reflektif. Literasi sains dianggap suatu hasil belajar kunci dalam pendidikan pada usia 15 tahun bagi semua siswa, apakah meneruskan belajar sains atau tidak setelah itu. Berpikir ilmiah merupakan tuntutan warga negara, bukan hanya ilmuwan. Keinklusifan literasi sains sebagai suatu kompetensi umum bagi kehidupan merefleksikan kecenderungan yang berkembang pada pertanyaan-pertanyaan ilmiah dan teknologis.
Dengan penguasaan yang kuat pada literasi sain , sarjana pendidikan IPA dapat memasuki pasar kerja selain sebagai guru pendidikan IPA di sekolah. Guru IPA akan dapat ,menjadi penghubung antara masyarakat, sains dan teknologi . Dari pemikiran-pemikiran tersebut maka program studi pendidikan IPA Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pancasakti menetapkan profil lulusan program S1 pendidikan IPA sebagai pengajar IPA di Sekolah dan sebagai pengelola pendidikan serta sebagai peneliti pendidikan sains/IPA.